Di situs Mediaindonesia.com, Mukhlis Paeni, mantan Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berpendapat bahwa sebaiknya Tradisi Lisan (Folklor) dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sekolah. Dengan kata lain, diperlukan suatu mata pelajaran baru yang mengajarkan tradisi-tradisi atau cerita lisan kepada generasi muda. Tujuannya, agar para generasi muda sadar bahwa ada tradisi dan budaya milik mereka yang harus dijaga; dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap budaya-budaya sastra lisan tersebut.
Saya pribadi tidak banyak tertarik dengan kesusastraan. Baik lisan maupun tulisan. Namun, saya sadar bahwa budaya sastra adalah sesuatu yang tidak bisa dihilangkan. Ketika suatu masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan kebudayaan (termasuk kesusastraannya), itu artinya mereka tidak peduli lagi dengan identitas mereka sebagai manusia.
Mengapa? Sederhana: karena manusia adalah makhluk yang berakal, berbudi, dan berbudaya (karena budaya adalah hasil kreasi dan cipta akal manusia). Sebagai buktinya, ilmu sastra dan ilmu bahasa digolongkan (dan dipayungi) oleh golongan ilmu-ilmu humaniora. Jadi, ketika manusia yang seharusnya berbudaya dan memelihara budayanya justru tidak memedulikan budaya dan hasil budayanya (lagi-lagi, termasuk kesusastraan), secara otomatis mereka mengingkari bahwa mereka adalah manusia. Mungkin… mereka menyamakan diri dengan binatang?
Tapi, sekarang pertanyaannya: apakah Anda setuju jika pemerintah memasukkan bidang ilmu Sastra Lisan (Folklor) ke dalam kurikulum pemerintah? Apakah ini bermanfaat langsung/tidak langsung pada pelestarian kebudayaan (khususnya kesusastraan) Indonesia? Ataukah hanya menjadi “menanti buah dari pohon jati” alias pekerjaan yang takberhasil?
Tinggalkan komentar